Pulau Pari Terancam Punah, Warga Sebut Korporasi Mereklamasi Hutan Mangrove

Jakarta, 23 Juni 2025. Di balik pesona pasir putih Pantai Perawan yang tenang dan hutan mangrove ratusan tahun yang meneduhkan, tersimpan kecemasan yang mendalam dari warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Bukan karena gelombang laut yang menggulung atau angin yang membawa kabut asin, tetapi karena badai yang datang dari arah lain: rencana reklamasi dan penguasaan wilayah oleh korporasi.

Wawancara yang berlangsung hangat namun sarat kegelisahan di tepian Pantai Perawan pada 19 Juni 2025 membuka tirai keresahan itu. Dua tokoh masyarakat setempat—Asmania, Ketua Lembaga Musyawarah Kelurahan (LMK) Pulau Pari, dan Mustaghfirin, Ketua Forum Peduli Pulau Pari (FP3)—menyuarakan hal yang sama: penolakan terhadap proyek korporasi yang mengancam ruang hidup mereka.

“Mangrove ini bukan cuma pohon, tapi pelindung hidup kami dari abrasi,” kata Asmania, dengan tatapan mengarah pada gugusan mangrove yang mulai rapuh. “Kalau ini dihancurkan, bukan hanya banjir yang datang, tapi juga kehancuran ekosistem yang kami jaga turun-temurun.”

Mustaghfirin, Ketua Forum Peduli Pulau Pari (FP3) bersama H. Achmad Azran, SE., Anggota DPD RI Jakarta, dan Asmania, Ketua LMK Pulau Pari, sarapan bersama di Pantai Pasir Perawan, Pulau Pari, Kamis (19/6)

Menurutnya, izin pemanfaatan ruang laut atau PKKPRL (Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut) yang diterbitkan pada tahun 2024 telah membuka jalan bagi pembangunan cottage apung dan aktivitas reklamasi di sekitar perairan Pulau Pari. “Kami tidak dilibatkan, padahal kami yang tahu bagaimana menjaga pulau ini. Kami bukan tamu di sini, kami tuan rumah,” tegasnya.

Izin PKKPRL (Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut) adalah instrumen legal dalam tata kelola ruang laut yang wajib dimiliki oleh pelaku usaha sebelum memanfaatkan wilayah pesisir. Namun, proses pemberian izin yang tidak transparan dan tanpa pelibatan masyarakat lokal kerap menuai kontroversi, seperti yang terjadi di Pulau Pari.

Nada yang sama menggema dari Mustaghfirin—lebih dikenal warga dengan nama Bobi—yang merupakan generasi kelima dari keluarga nelayan Pulau Pari. Sebagai Ketua FP3, Bobi menjadi garda depan dalam advokasi hukum melawan korporasi asing bernama PT CPS yang disebut sebagai aktor utama dalam rencana reklamasi.

“Mereka ingin gali pasir, bangun resort, rusak lamun dan mangrove, lalu bilang ini pembangunan. Tapi kami bertanya: bolehkah laut diperjualbelikan? Bolehkan kami jadi budak di tanah lahir kami sendiri?” ucapnya lantang.

Pantai Perawan memang telah menjadi ikon wisata yang membanggakan warga Pulau Pari. Keindahan biota laut seperti padang lamun, terumbu karang, hingga jalur-jalur ekowisata mangrove menjadi sumber hidup dan warisan budaya. Namun dengan hadirnya investasi yang disebut tidak inklusif dan minim partisipasi warga, keberlanjutan pulau justru dipertaruhkan.

Keduanya menegaskan bahwa warga Pulau Pari tak menolak pembangunan, tetapi menuntut keadilan ekologis dan partisipasi. Saat ini, gugatan terhadap izin PKKPRL tengah diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), sebagai upaya hukum terakhir menyelamatkan ruang hidup mereka.

“Kami bukan hanya sedang memperjuangkan hari ini,” kata Asmania. “Kami sedang menjaga masa depan anak cucu kami. Pemerintah seharusnya berpihak pada rakyat, bukan pada korporasi yang datang hanya untuk mengeruk lalu pergi.”

Sementara itu, suasana pagi di Pantai Perawan masih menyuguhkan ketenangan yang semu. Ombak kecil menyapu bibir pantai, seolah enggan membawa kabar buruk dari luar. Tapi bagi warga Pulau Pari, waktu terus mendesak. Mereka tak ingin tinggal diam, tak ingin pulau indah ini menjadi cerita pilu tentang tanah yang diambil tanpa permisi, dan laut yang dijual tanpa hati.

Scroll to Top